menu drop down


Rabu, 15 Agustus 2012

when I ♥ Photography

I'm not a Photographer.
I'm not Model / Talent.
BUT.. I ♥ PHOTOGRAPHY !!!

photo by : Elsa Delyana
Kamera : Canon 60 D
Lensa : 18 - 55 mm 
salah satu hasil jepretan gue yang sebenernya ga ada apa-apanya (wong saya ga terlalu paham Photography, hehe) 

** SEJARAH PHOTOGRAPHY DI INDONESIA **

Sejarah fotografi di Indonesia dimuali tahun 1857, pasa daat 2 juru foto Woodburry dan Page membuka studio foto di Harmonie, Batavia. 
Masuknya fotografi ke Indonesia tepat 18 tahun setelah Denguerre mengumumkan hasil penelitiannya yang kemudian disebut-sebut sebagai awal perkembangan fotografi komersil. 
Studio fotopun semakin ramai di Batavia, dan kemudian banyak fotografer profesional maupun amatir mendokumentasikan hiruk pikuk dan keragaman etnis di Batavia. 



Kamera Daguerre




Masuknya fotografi di Indonesia adalah awal dari lahirnya teknologi fotografi, maka kamera yang adapun masih berat dan menggunakan teknologi sederhana. 
Teknologi kamera pada masa itu hanya mampu merekam gambar yang statis. Karena itu kebanyakan foto hasil karya Woodburry dan Page terlihat sepi karena belum memungkinkan untuk merekam gambar bergerak. Terkadang fotografer harus menggiring pedagang dan pembelinya ke dalam studio untuk merekam suasana hiruk pikuk pusat perbelanjaan. Oleh karena itu terlihat bahwa pedagang dan pembelinya beraktifitas membelakangi sebuah layar. Ini karena teknologi kamera masih sederhana dan masih riskan untuk terlalu sering dibawa kemana-mana. 
Pada tahun 1900an, muncul penemuan kamera yang lebih sederhana dan mudah untuk dibawa kemana-mana sehingga memungkinkan pada fotografer untuk melakukan permotretan outdoor. Bisa dibilang ini adalah awal munculnya kamera modern, karena bentuknya yang lebih sederhana, kamera kemudian tidak hanya dimiliki oleh fotografer saja tetapi juga oleh masyarakat awam.
Banyak karya-karya fotografer maupun masyarakat yang dibuat pada masa awal perkembangan fotografi Indonesia tersmpan di Museum Sejarah Jakarta. Seperti namanya, museum ini menghadrkan foto-foto kota Jakarta pada zaman penjajahan Belanda saja. Karena memang perkembangan teknologi fotografi belum masuk ke daerah. Salah satu foto yang dipamerkan adalah suasana Pasar Pagi, Glodok, Jakarta pada tahun 1930an. pada awal dibangun, pasar ini hanya beberapa lapak pedagang saja, berbeda dengan kondisi sekarang dimana Glodok merupakan pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta. 

Kassian Cephas (1844-1912) : Yang Pertama, yang Terlupakan

Cephas lahir pada 15 Januari 1845 dari pasangan Kartodrono dan Minah. Ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah anak angkat dari orang Belanda yang bernama Frederik Bernard Fr. Schalk. cephas banyak menghabiskan masa kanak-kanaknya dirumah Chrstina Petronella Steven (siapa). Cephas mulai belajar menjadi fotografer profesional pada tahun 1860-an. Ia sempat magang pada Isidore van Kinsbergen, fotografer yang bekerja di Jawa Tengah sekitar 1863-1875. Tapi berita kematian chepas di tahun 1912 menyebutkan bahwa ia belajar fotografi kepada seseorang bernama Simon Willem Camerik.

Kassian Cephas
Kassian Cephas memang bukan tokoh nasional yang dulunya menenteng senjata atau berdiplomasi menentang penjajahan bersama politikus pada zaman sebelum dan sesudah kemerdekaan. Ia hanyalah seorang fotografer asal Yogyakarta yang eksis di ujung abad ke-19, Dimana dunia fotografi masih sangat asing dan tak tersentuh oleh penduduk pribumi kala itu. Nama Kassian Cephas mungkin baru disebut bila foto-foto tentang Sultan Hamengku Buwono VII diangkat sebagai bahan pembicaraan. Dulu, Cephas pernah menjadi fotografer khusus Keraton pada masa kekuasaan Sultan Hamengku Buwono VII. karena kedekatannya dengan pihak keraton, maka ia bisa memotret momen-momen khusus yang hanya diadakan di Keraton pada waktu itu. Hasil karya foto-foto itu ada yang dimuat dalam buku karya Issac Groneman (seorang dokter yang banyak memuat buku tentang kebudayaan Jawa) dan buku karangan Gerrit Knaap (sejarawan Belanda) yang berjudul "Chepas, Yogyakarta in the Service og the Sultan".


Sultan Hamengku Buwono VII karya Kassian Cephas
Dari foto-fotonya tersebut, bisa dibilang bahwa Cephas telah memotret banyak hal tentang kehidupan di dalam Keraton, mulai dari foto Sultan Hamengku Buwono VII dan keluarganya, bangunan-bangunan sekitar Keraton, upacara Garebeg di alun-alun, iring-iringan benda untuk keperluan upacara, tari-tarian, hingga pemandangan Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Tidak itu saja, bahkan Cephas juga diketahui banyak memotret candi dan bangunan bersejarah lainnya, terutama yang ada di sekitar Yogyakarta. Berkaitan dengan kegiatan Cephas memotret kalangan bangsawan Keraton, ada cerita yang cukup menarik. Zaman dulu, dari sekian banyak penduduk Jawa waktu itu, hanya segelintir saja rakyat yang bisa atau pernah melihat wajah rajanya. Tapi, dengan foto-foto yang dibuat Cephas, maka wajah-wajah raja dan bangsawan bisa dikenali rakyatnya.
Masa-Masa Keemasan Cephas
Cephas pernah terlibat dalam proyek pemotretan untuk penelitian monumen kuno peninggalan zaman Hindu-Jawa, yaitu kompleks Candi Loro Jonggrang di Prambanan, yang dilakukan oleh Archeological Union di Yogyakarta pada tahun 1889-1890. Saat bekerja, Cephas banyak dibantu oleh Sem, anak laki-lakinya yang juga tertarik pada dunia fotografi. Cephas juga membantu memotret untuk lembaga yang sama ketika dasar tersembunyi Candi Borobudur mulai ditemukan. Ada sekitar 300 foto yang dibuat Cephas dalam proyek penggalian itu. Pemerintah Belanda mengalokasikan dana 9.000 gulden untuk penelitian tersebut. Cephas dibayar 10 gulden per lembar fotonya. Ia mengantongi 3.000 gulden (sepertiga dari seluruh uang penelitian), jumlah yang sangat besar untuk ukuran waktu itu.
Beberapa foto seputar candi tersebut dijual Cephas. Alhasil, foto-foto buah karyanya itu menyebar dan terkenal. Ada yang digunakan sebagai suvenir atau oleh-oleh bagi para elite Belanda yang akan pergi ke luar kota atau ke Eropa. Album-album yang berisi foto-foto Sultan dan keluarganya juga kerap diberikan sebagai hadiah untuk pejabat pemerintahan seperti presiden. Hal itu tentunya membuat Cephas dikenal luas oleh masyarakat kelas tinggi, dan memberinya keleluasaan bergaul di lingkungan mereka. Karena kedekatan dengan lingkungan elite itulah sejak tahun 1888 Cephas memulai prosedur untuk mendapatkan status "equivalent to Europeans" (sama dengan orang Eropa) untuk dirinya sendiri dan anak laki-lakinya: Sem dan Fares.

Cephas adalah salah satu dari segelintir pribumi yang waktu itu bisa menikmati keistimewaan-keistimewaan dan penghargaan dari masyarakat elite Eropa di Yogyakarta. Mungkin itu sebabnya karya-karya foto Cephas sarat dengan suasana menyenangkan dan indah. Model-model cantik, tari-tarian, upacara-upacara, arsitektur rumah tempo dulu, dan semua hal yang enak dilihat selalu menjadi sasaran bidik kameranya. Bahkan, rumah dan toko milik orang-orang Belanda, lengkap dengan tuan-tuan dan noni-noni Belanda yang duduk-duduk di teras rumah, juga sering menjadi obyek fotonya.
Sekitar tahun 1863-1875, Cephas sempat magang di sebuah kantor milik Isidore van Kinsbergen, fotografer yang bekerja di Jawa Tengah. Status sebagai fotografer resmi baru ia sandang saat bekerja di Kesultanan Yogyakarta. Sejak menjadi fotografer khusus Kesultanan itulah namanya mulai dikenal hingga ke Eropa.
Terlindas Semangat Revolusi
Meski demikian, dalam khazanah fotografi Indonesia, nama Kassian Cephas tidak seharum nama Mendur bersaudara, yakni Frans Mendur dan Alex Mendur. Mereka berdua adalah fotografer yang dianggap sangat berjasa bagi perjalanan bangsa ini. Merekalah yang mengabadikan momen-momen penting saat Soekarno membacakan proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Karya-karya mereka lebih disorot masyarakat Indonesia karena dianggap kental dengan suasana heroik yang memang pada masa itu sangat dibutuhkan.
Foto-foto monumental karya Mendur Bersaudara, mulai dari foto Bung Tomo yang sedang berpidato dengan semangat berapi-api di bawah payung, foto Jenderal Sudirman yang tak lepas dari tandunya, foto sengitnya pertempuran di Surabaya, hingga foto penyobekan bendera Belanda di Hotel Savoy, menjadi alat perjuangan bangsa dan menjadi bukti sejarah terbentuknya negara ini. Di awal-awal kemerdekaan dan revolusi, tentu saja foto-foto Mendur Bersaudara tadi terus diproduksi oleh penguasa dan pelaku sejarah untuk mengawal semangat bangsa ini. Foto-foto karya mereka dicetak dalam buku-buku sejarah dan menjadi bacaan wajib siswa sekolah, mulai dari tingkat dasar sampai tingkat doktoral.
Sementara foto-foto Cephas yang penyebarannya sangat terbatas lebih cocok masuk ke museum atau dikoleksi oleh orang-orang yang menjadi kliennya atau para kolektor. Kandungan foto karya Cephas dinilai tidak mendukung suasana pergolakan yang tengah berlangsung saat itu. Bahkan foto-fotonya yang menonjolkan tentang keindahan Indonesia, potret raja-raja dan “londo-londo”, serta para bangsawan dipandang sebagai “pro status quo”. Makanya fotonya jarang dilirik.
Perbedaan zamanlah yang membuat foto-foto karya Cephas dan Mendur Bersaudara saling bertolak belakang. Kalau foto karya Mendur Bersaudara memperlihatkan sosok Bung Karno yang hangat, flamboyan, dan penuh semangat kerakyatan, justru foto buatan Cephas menampilkan sosok raja yang dingin, sombong, dan sangat feodal. Bila foto-foto para pejuang wanita yang juga anggota palang merah di kancah pertempuran disuguhkan Mendur Bersaudara, justru foto-foto gadis cantik, manja, dan ayulah yang ditawarkan Cephas. Maka wajar bila foto-foto Mendur Bersaudara dicari dan dilirik orang, sedangkan foto-foto Cephas tenggelam dalam pelukan para kolektor.
Kini Kassian Cephas hanya tinggal kenangan. Foto-foto tentang dirinya pun tersembunyi entah di mana. Hanya ada satu buah foto yang menjadi bukti bahwa ia pernah ada, yakni foto dirinya setelah menerima bintang jasa “Orange-Nassau” dari Ratu Wilhelmina pada tahun 1901.
Nah, seklilas tentang sejarah Photography. 

sekarang adalah waktunya penerus-pernerus dari pendahulu Photography yang berkarya :) 
Photo By : Elsa Delyana
Kamera : Canon 60 D
Lensa : 18 - 55 mm

** mohon maaf kalo hasilnya masih ga memuaskan, belajarnya cuma nanya-nanya sama yang kuliah d Photography, kamera juga ga punya. haha cuma nebeng doang** 




Talent : Melinda Khairunissa
Photo By : Elsa Delyana
Kamera : Canon 60D
Lensa : 18 - 55 mm







Nah kalo talent yang ini namanya Melinda Khairunissa biasa dipanggil kaka Icha. 
Si cantik yang imut ini suka ngga suka difoto, kadang mau kadang engga. moody banget anaknya.










--- Just Shared hasil Jepretan Kekasih ---
Talent : Elsa Delyana
Photo By : Hendara Budianto | HenHen Photography
Kamera : Canon 60 D
Lensa : **lupa** haha
Talent : Elsa Delyana
Photo By : Hendra Budianto | HenHen Photography
kamer : Canon 60 D
Lensa : ?

Talent : Elsa Delyana
Photo By : hendra Budianto | HenHen Photography
Kamera : Canon 60 D
Lensa ; ?
Talent : Elsa Delyana
Photo By : hendra Budianto | HenHen Photography
Kamera : Canon 60 D
Lensa :FIX
Edited By : Elsa Delyana
Yang menyedihkan sekarang adalah, siapapun menenteng si kamera Pro (DSLR). Yap, anak-anak gaul jaman sekarang emang lagi booming nenteng-nenteng kamera DSLR lebih tepatnya sih ngejadiin kamera mereka cuma "Kalung". bisa pakenya? duh kenapa gw ragu yah.. 
mereka pake kameranya cuma buat gegayaan, dan lagi-lagi paling mereka cuma mengandalkan "Auto Focus", kamera HP juga bisa pake auto focus masbro & mbakbro.. berat-berat amat pake ngalungin DSLR.
me & my beloved camera


mungkin kalian akan bilang "lu juga gak ngeker" di foto ini gw emang pake auto focus, soalnya... lensa yang dipake juga lensa fix. Lensa fix itu manjain banget si fotografer, tapi si fotografer harus paham banget cari angle bagus si object biar fotonya tetep idup. Lagi-lagi gw mau minta maaf kalo salah, ini hanya pandangan gw tentang fotografi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar